Waktu itu Bank sampah miliknya belum memiliki kantor. Meski begitu Muhlas dengan tekun berkeliling dari dusun ke dusun untuk memungut sampah rosok dari warga.
Warga yang memberikan sampah rosok tersebut juga langsung menerima manfaatnya yakni mendapat uang berdasarkan berat sampah yang ia miliki, dan dirupiahkan menjadi tabungan pribadi masing-masing.
Sampah-sampah itu ditimbang setiap tiga bulan sekali. Dalam sekali timbang, BSM bisa memperoleh empat kuintal sampah, berupa botol obat pertanian, botol air mineral, penanak nasi rusak, kardus, kertas, dan lain-lain.
Dalam setahun, hasilnya luar biasa, mereka bisa memperoleh uang sebanyak Rp 8 juta.
“Tahun 2017, kami sudah bisa bayar pajak menggunakan hasil tabungan sampah dan langsung kami koordinasikan Pemerintah Desa, kendati belum sepenuhnya warga desa ikut,” kata Muhlas.
Namun tentu saja bekerja tanpa kantor membuat Muhlas kepayahan. Mengumpulkan sampah dengan model langsung jual kepada pengepul besar, tidaklah mudah.
“Kalau begini terus, kita tidak maksimal,” kata Muhlas kepada kawan-kawannya.
Mereka tidak bisa bekerja hanya dengan bermodal keikhlasan. Mereka butuh tempat untuk menyimpan, memilih, dan memilah sampah-sampah berdasarkan jenis dan nilai jual.
“Dari selisih harga itu, harapan kami bisa menghidupi pegiat-pegiat bank sampah. Walau tidak banyak seperti gaji, minimal ada konsumsi, beli kaos, seperti itu,” kata Muhlas.
Editor : Sugiyanto
Artikel Terkait