SRAGEN, iNewsSragen.id – Skandal LPPM abal-abal dalam seleksi perangkat desa di Sragen menyisakan satu pertanyaan besar yang belum dijawab secara jujur: bagaimana mungkin lembaga fiktif bisa menembus sistem resmi seleksi perangkat desa tanpa terdeteksi sejak awal?
Panitia Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa (P3D) sejatinya memegang peran sentral dalam memastikan semua proses seleksi berjalan profesional, legal, dan sah. Mereka adalah gerbang pertama dan terakhir yang seharusnya memverifikasi setiap mitra kerja, termasuk lembaga penguji seperti LPPM. Maka, ketika sebuah lembaga yang mengaku dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bisa lolos tanpa legalitas, ini bukan sekadar keteledoran administratif, tapi bisa jadi bentuk pembiaran yang disengaja.
Mari kita jujur, apakah tidak ada satu pun panitia yang tergelitik untuk mengecek legalitas lembaga? Apakah tidak diminta dokumen kerja sama resmi? Tidak ada klarifikasi langsung ke UGM? Atau justru semua itu sebenarnya diketahui, tapi diabaikan?
Sistem ini semestinya memiliki mekanisme pengawasan berlapis, dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Tapi kenyataannya, lembaga abal-abal itu bisa masuk dan bahkan ikut menentukan siapa yang lolos sebagai perangkat desa. Artinya, sistem ini bukan hanya bocor, tapi memang tidak dijaga dengan sungguh-sungguh.
Kini, ketika semuanya terbongkar, pihak-pihak mulai mencari tameng. Panitia bilang mereka ditipu. Pemerintah desa merasa jadi korban. Lembaga fiktif entah ke mana. Tapi publik tak butuh narasi sebagai korban, publik butuh penanggung jawab.
Tanggung jawab paling awal jelas ada pada panitia seleksi. Mereka wajib menjelaskan secara terbuka siapa yang mengundang LPPM abal-abal itu, bagaimana proses kerja samanya, dan mengapa mereka percaya tanpa validasi. Namun, pemerintah kecamatan dan kabupaten juga tak bisa cuci tangan. Di mana fungsi pembinaan dan pengawasan? Kenapa sistem ini gagal mendeteksi penipuan dari awal?
Jika semua hanya berlindung di balik dalih “tidak tahu”, maka sistem pemerintahan desa telah menjadi ladang yang terlalu mudah dimanipulasi.
Skandal ini telah mencabik-cabik kepercayaan masyarakat. Tata kelola seleksi perangkat desa harus direformasi total, dari pengetatan regulasi, sistem pengawasan real-time, hingga sanksi tegas terhadap panitia yang lalai atau terlibat. Tanpa itu, LPPM abal-abal hanya akan digantikan modus baru yang lebih lihai.
Komisi I DPRD Sragen pun bersuara. Ketua Komisi I yang membidangi pemerintahan, hukum, dan keamanan, Endro Supriyadi, menegaskan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan OPD terkait dan mendorong agar rekomendasi dari Inspektorat segera ditindaklanjuti.
“Komisi I menyarankan agar OPD terkait segera mengawal agar rekomendasi dilaksanakan, mengingat tenggat waktu terbatas. Ini penting agar persoalan tidak berlarut-larut dan segera ada penyelesaian,” kata Endro kepada iNews. Jumat (9/5/2025).
Ia juga menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Komisi I juga mengingatkan agar ke depan kejadian seperti ini tidak terulang. Desa yang akan menyelenggarakan seleksi harus selektif memilih LPPM yang kredibel,” pungkasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait