Sitinjak pun enggan menanggapi lebih jauh terkait wacana RJ itu, namun dengan tegas ia berharap dari proses hukum yang berjalan bisa dijadikan shock therapy bagi masyarakat lainnya. Sehingga upaya perlindungan terhadap cagar budaya bisa terlaksana dengan baik.
"Ada 3 aspek pencegahan perusakan cagar budaya, pertama adalah koordinasi. Karena cagar budaya ini bukan hak prerogatif perseorangan atau hak daripada lembaga pemerintah daerah saja. Jadi cagar budaya ini milik instansi pemerintah dan warga negara. Jadi harus ada koordinasi," jelasnya.
Kedua, lanjut Sitinjak, adalah sosialisasi. Sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat luas bisa mengetahui. Dalam hal ini peran Forkopimda dan BPK menjadi penting untuk menyampaikan kepada masyarakat diantaranya melalui media massa baik cetak, elektronik, maupun televisi.
"Cagar budaya ini adalah sejarah yang sangat penting bagi pembangunan bangsa kedepan. Dijaman milenial ini harus ada garis penegas sebagai pondasi pembangunan," ujarnya.
Selanjutnya aspek ketiga, disebutkan oleh Sitinjak adalah regulasi. Regulasi dimaksud adalah tentang aturan pendaftaran dan penetapan cagar budaya.
"Siapapun masyarakat Indonesia, menurut Undang-undang dapat mendaftarkan benda yang dianggap cagar budaya. Nanti dengan penilaian dari tim ahli yang diajukan oleh Bupati, kemudian secara berjenjang hingga ditetapkan oleh Kemendikbud untuk diberikan nilai peringkat dari cagar budaya itu sendiri," sambungnya.
Dengan tiga poin yang disampaikannya itu, Sitinjak mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaganya. Termasuk mendorong agar Pemkab Sukoharjo segera membuat Perda tentang cagar budaya.
"Tadi kami sudah diskusi dengan pak Wakil Bupati membicarakan itu (Perda-Red). Ini kami akan bertemu lagi di kantor bupati akan kami bahas lebih lanjut tentang regulasi itu," pungkasnya.
Editor : Joko Piroso