"Pada waktu menggunakan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UMK berdasarkan pada survei kebutuhan hidup layak," ungkap Sigit.
Dalam perkembangannya pemerintah menentukan UMK mengacu pada dasar aturan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law dan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan dan PP No. 78 Tahun 2015. Oleh karenanya, Sigit menilai formulasi yang digunakan untuk menentukan UMK telah keliru sejak 2015.
"Munculnya PP No. 78/2015 itu sejak lama telah ditolak buruh karena penghitungan upah hanya mendasarkan pada angka tahun berjalan dengan indikasi hanya dari inflasi dan perkembangan ekonomi," lanjutnya.
Kemudian munculnya PP 36/2021 juga menambah terjadinya penurunan angka upah karena dalam aturan itu hanya memilih salah satu antara inflasi maupun pertumbuhan ekonomi sebagai penghitungan upah.
Kemudian, pada PP No.51/2023 indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi masih harus dibatasi lagi dengan angka alfa tingkat peran serta buruh dalam pertumbuhan ekonomi.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait