Atas kondisi tersebut, Tuntas meminta bahwa apa yang dialaminya selama berproses sebagai bakal calon dari jalur perseorangan agar menjadi pembelajaran politik bagi semua pihak.
"Ini sebuah keterpurukan iklim demokrasi bagi Sukoharjo, dan ini sangat berbahaya kalau terus dipelihara. Karena dari jalur perseorangan tidak bisa maju, maka saya akan berdiri di garda depan menegakkan demokrasi di Sukoharjo dengan (memilih) kotak kosong," tegasnya.
Sementara, Indra Tri Angkasa selaku kuasa hukum Tuntas-Djayendra menyampaikan sejumlah poin terkait dugaan Bawaslu Sukoharjo tidak profesional dalam tata cara memutus musyawarah sengketa pemilihan.
"Putusan Majelis Bawaslu tadi ibaratnya hanya menyampaikan hasil rekapitulasi yang ada di PPK maupun di KPU. Kalau hanya itu yang disampaikan, sebenarnya tidak perlu kita capek-capek bersidang selama 12 hari. Nggak ada gunanya," kata Indra.
Menurut Indra, dalil yang disampaikan dalam permohonan musyawarah sengketa bukan tentang hasil rekapitulasi, tapi tentang adanya dugaan pelanggaran-pelanggaran yang pada akhirnya muncul dalam lembar kerja hasil verfak yang manipulatif.
"Itu (dugaan pelanggaran) sama sekali tidak disentuh. Kami tidak tahu model pemeriksaan (Bawaslu) kayak apa. Dari sisi hukum acara pemeriksaan saja sudah berantakan. Mestinya majelis membahas satu persatu dari 7 dalil yang kami ajukan," ujarnya.
Dalam perkara ini, Indra juga menilai bahwa KPU Sukoharjo telah bertindak ceroboh ketika menentukan konsideran penggunaan ketentuan perundang-undangan, khususnya penggunaan PKPU Nomor 532 yang sudah dicabut sebagai dasar penugasan verifikator.
"Itu fatal. Kemudian adanya kejadian perubahan dalam Silon, itu lebih serem lagi, kejahatan kalau itu. Kenapa itu tidak dipertimbangkan. Lalu yang dipertimbangkan justru jawaban termohon, yakni rekapitulasi," sambungnya.
Editor : Joko Piroso